Meskipun memiliki armada laut yang kuat, Majapahit tetap mempertahankan pola agraris-agamis di dalam kehidupan bermasyarakat, utamanya dalam kaitan memperkuat perekonomian kerajaan Majapahit pada masa itu. Pola agraris-agamis ini dapat kita telusuri dari kakawin Negarakertagama utamanya dalam pupuh LXXXII yang menyebutkan : "(1) Begitulah tanah Jawa pada masa pemerintahan Sri Nata (Hayam Wuruk) ; penegakan bangunan-bangunan suci membuat gembira rakyat ; baginda menjadi teladan dalam menjalankan enam darma ; para ibu kagum memandang, setuju dengan tingkah laku Sang Prabhu (2) Sri Nata Singasari membuka ladang luas di daerah Sagala ; Sri Nata Wengker membuka hutan Surabana, Pasuruan, Pajang ; mendirikan perdikan budha di Rawi, Locanapura, Kapulungan ; Baginda sendiri membuka ladang Watsari di Tigawangi (3) Semua menteri mengenyam tanah palenggahan yang cukup luas ; Candi, biara dan lingga utama dibangun tak ada putusnya ; sebagai tanda bakti kepada dewa, leluhur, para pendeta ; memang benar budi luhur tertabur mengikuti jejak Sri Nata (Hayam Wuruk)".
Dari uraian pupuh tersebut di atas jelaslah kepada kita bahwa raja Majapahit yang pada waktu itu Dyah Hayam Wuruk, memberikan contoh perilaku agamis dengan pembangunan tempat-tempat suci (ibadah) dan menjalankan enam darma. Dalam bidang pembangunan ekonomi, sang raja memberikan contoh dengan membuka ladang-ladang Watsari di daerah Tigawangi. Bukti pembukaan ladang oleh Hayam Wuruk ini masih dapat ditemukan di daerah Pare, Kediri yang berupa terowongan air bawah tanah yang dahulunya dipergunakan untuk proyek irigasi. Terowongan-terowongan air ini berada di sekitar Candi Surowono. Bahkan di daerah Surowono dan Sumberagung, masa tanam dalam satu tahun dapat mencapai tiga kali tanpa mengalami kekeringan.
Dengan demikian tampaklah kepada kita betapa tingginya tehnologi pengairan yang telah dimiliki oleh rakyat Majapahit pada masa itu.
No comments:
Post a Comment