Wednesday, May 11, 2011

IKON KOTA RAJA MAJAPAHIT

Sebelum manusia lahir di muka bumi, alam semesta didiami oleh dewa-dewa yang tinggal di atas kahyangan, sedangkan daitya-daitya tinggal di bawah mewakili keburukan. Para dewa dan daitya selalu saja bertengkar.

Pada suatu ketika, para dewa mencari air kehidupan atau amerta. Sayangnya air kehidupan itu tersembunyi di dasar laut dan dijaga oleh sejumlah naga. Dewa Brahma memanggil para dewa di puncak Gunung Mahameru untuk ditugaskan mengaduk laut supaya dari pusatnya keluarlah amerta. Para daitya pun dilibatkan dalam proyek tersebut.

Konon, sebagai alat pengaduknya adalah Gunung Mandara yang diangkut para dewa ke tepi laut. Dewa Wisnu menjelma menjadi kura-kura yang sangat besar untuk alas Gunung Mandara, sedangkan Dewa Wasuki menjelma menjadi ular besar untuk membelit gunung itu. Kepala ular ditarik para daitya, sedangkan ekornya ditarik para dewa, maka berputarlah Gunung Mandara mengaduk air laut.
Singkat cerita, keluarlah Dewa Dhanwantari, tabib kahyangan dari dalam laut. Di tangannya ia membawa guci yang berisi amerta, air dambaan para dewa.
Inilah ringkasan kisah Amertamanthana yang dipetik dari Kitab Mahabharata dari India. Amertamanthana menceritakan terjadinya dunia ini melalui pengadukan laut susu untuk mendapatkan amerta, air kehidupan. 

Ikon kota raja Majapahit
Naga atau ular besar merupakan ikon yang sangat penting untuk menggambarkan mitologi alam semesta. Pada masa Jawa Kuno, pahatan naga sering terpahat pada tubuh yoni, miniatur bangunan candi, relief candi, dan pada bangunan candi itu sendiri. Naga yang dipahatkan itu tidak melulu tentang Amertamanthana, melainkan juga ada yang berkaitan dengan masalah kesuburan dan kepercayaan lainnya.

Naga sebagai ikon kota kuno dapat dilihat pada situs kota Angkor di Kamboja. Tata letak kota itu benar-benar replika penciptaan dunia dengan cara pengadukan laut susu. Sebelum memasuki kota Angkor terdapat tanggul Angkor Thom. Di kanan kiri jalan-tanggul terdapat 54 raksasa yang memegang seekor naga dan posisi mereka membelakangi kota. Ketika masuk kota, yang di sebelah kiri adalah dewa-dewa kahyangan, dan di sebelah kanan dewa-dewa dunia-dunia bawah tanah. Di tengah kota terdapat Candi Bayon sebagai gunung suci dengan pintu-pintu simetris yang berlawanan arah, timur-barat dan utara-selatan. Dewa kahyangan dari pintu selatan tampak menarik naga yang melingkar-lingkar secara simbolis di sekeliling Candi (Gunung) Bayon, untuk ditangkap pada bagian ujungnya oleh dewa-dewa neraka dari dunia-dunia bawah tanah yang terdapat di pintu utara. Demikian pula halnya antara pintu barat dan timur. Dewa-dewa itu menarik secara bergantian, membuat Candi Bayon seperti berputar pada porosnya, simbol kegiatan mengaduk lautan kosmik, yang digambarkan dalam bentuk parit-parit air.

No comments: